Ilustrasi anak bermain peran/Net
Ilustrasi anak bermain peran/Net
KOMENTAR

BEBERAPA hari ini seliweran di TikTok, seorang ayah memergoki anaknya sedang bermain ‘roleplay’ (bermain peran). Dalam video yang diunggah itu, tampak Sang Ayah memarahi yang kemudian diikuti teriakan dan tangisan si anak.

Apa itu sebenarnya roleplay?

Di kalangan ibu-ibu, termasuk saya, roleplay masih cukup awam. Roleplay atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai ‘bermain peran’, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Zaman dulu, bahkan mungkin saat ini masih dilakukan, anak-anak seringkali bermain peran, entah sebagai orang tua, dokter, polisi, dan sebagainya.

Lalu, bagaimana roleplay ini bisa mengganggu kesehatan jiwa anak?

Setelah ditelusuri, video heboh itu ternyata memang cukup membuat saya tercengang. Roleplay, kini tren disingkat RP, yang dilakukan sang anak menjurus pada peran orang dewasa.

Yang membuatnya kian menyesakkan saya, ternyata ia memainkan RP tersebut bersama user TikTok lain yang tidak dikenalnya. Diceritakan, bocah perempuan tersebut sudah memiliki anak yang diperankan oleh rekannya di dunia maya itu.

Layaknya seorang anak kepada ibu, si user tersebut meminta bocah itu untuk melakukan tindakan-tindakan yang biasanya dilakukan ibu pada anak atau bayinya.

Seorang psikiater, dr Lahargi Kembaren, SpKj, menjelaskan, permainan roleplay di media sosial bisa mengganggu perkembangan kepribadian anak, tidak hanya fisik tetapi mental emosionalnya.

Karena tidak adanya pengawasan dari orang tua, RP bisa memicu terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan, seperti pelecehan seksual dan kekerasan verbal. Itulah mengapa dampaknya bisa sampai pada efek traumatis anak.

“Itu akan tersimpan di alam bawah sadar anak, menjadi traumatis. Setiap anak di fase umurnya bisa berkembang ke arah positif atau negatif, tergantung bagaimana interaksi dan konflik yang terjadi di fase umur tersebut,” kata Lahargi, mengutip Detik.

“Misalnya, dia melakukan permainan roleplay tadi, maka pembentukan jati dirinya itu menjadi rusak karena yang tadinya harus sesuai dengan norma nilai, tapi menjadi kacau dan menimbulkan kebingungan terhadap masalah psikologisnya,” urai dia.

Selanjutnya, roleplay itu memengaruhi kemampuan anak dalam menilai realitas dan bisa jatuh pada keadaan yang namanya psikotik, yaitu tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak nyata, karena ia semakin meyakini bahwa sudah memiliki atau menjadi seseorang dalam roleplay tersebut.

“Maturitas atau kematangan sel-sel sarafnya masih belum cukup untuk bisa memahami situasi ini dan dalam pertumbuhan perkembangannya juga jadinya terganggu,” tuturnya.

Bunda, selalu ingat bahwa gadget dan internet saat ini memainkan peran besar dalam pengaruh pertumbuhan dan perkembangan anak. Waspadai segala bentuk kesempatan yang bisa merusak tumbuh kembang anak, salah satunya permainan RP ini.




Bintang Puspayoga: Angka Perkawinan Anak Menurun dalam Tiga Tahun Terakhir

Sebelumnya

Lebih dari 200 Rumah Rusak, Pemerintah Kabupaten Garut Tetapkan Status Tanggap Darurat Bencana Gempa Bumi Selama 14 Hari

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News